SELAMAT HARI SANTRI NASIONAL TAHUN 2025

Sejak tahun 2015 tanggal 22 Oktober diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015. Maksud dan tujuannya adalah untuk mengenang kontribusi besar para santri dalam memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Melalui Hari Santri, masyarakat diajak untuk mengingat, meneladani, dan melanjutkan perjuangan ulama serta santri dalam menjaga keutuhan bangsa[1] dan Negara Indonesia.
Peringatan yang biasanya diisi kegiatan formal seperti: upacara dan ikrar santri, atau non-formal semisal: Dzikir/sholawatan, khataman Qur’an dan kajian-kajian Islami, jalan sehat, donor darah dan lain sebagainya. Dan tak kalah menariknya pada lembaga-lembaga / Institusi pemerintahan biasanya memakai seragam/baju ala santri untuk pakaian dinas masuk kantor pada hari itu.
Pertanyaan selanjutnya apakah insan peradilan harus memperingati Hari Santri Nasional dan apakah ada kaitannya peradilan agama dengan santri? pertanyaan ini patut kita munculkan sebagai dasar memperingati hari santri nasional bagi insan peradilan. Dan kemudian memaknai perayaan hari santri bagi keberadaan peradilan agama dimasa yang akan datang. Tulisan sederhana ini mencoba menemukan korelasi dan makna hari santri nasional bagi peradilan agama di Indonesia.
Secara historis, munculnya Staatsblad Tahun 1882 yang secara formal merupakan tonggak kelahiran Peradilan Agama, dimana sebelumnya peradilan agama hanya berbentuk pengadilan serambi. Lalu melalui staatsblad diatas dibentuklah secara resmi peradilan agama yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Tugasnya memeriksa perkara di bidang waris, perkawinan, perceraian, dan rujuk. semua “hakim” yang bertindak sebagai pengadil adalah para tokoh agama (penghulu) atau orang yang dianggap tahu agama Islam (hukum Islam). Seorang hakim (penghulu) biasanya diangkat dari kalangan kiai/ulama/tuan guru/ajengan yang menguasai kitab-kitab kuning yang berasal dari pesantren atau setidaknya mempunyai santri.
Jauh sebelum masa penjajahan, ulama / santri sebenarnya juga sudah melakukan proses yudisial dalam perkara sehari-hari masyarakat pada zaman kerajaan (sultan). bahkan Ketua pengadilan yang pada prinsipnya berada di tangan sultan, tetapi dalam pelaksanaannya berada di tangan penghulu yang didampingi beberapa orang ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis. Sultan tidak pernah mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat Peradilan Surambi.[2] Sehingga dari aspek kelembagaan peradilan agama tidak bisa dipisahkan dengan peran Ulama. Dalam hal ini para penghulu yang tidak lain adalah juga representasi dari santri.[3] Maka tak heran jika ada ungkapan hakim peradilana agama adalah “ulama di masyarakat dan hakim dimata hukum”.
Secara tradisi keilmuan. Hakim Peradilan Agama juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi keilmuan santri yang nota-bene menguasai berbagai kitab kuning. Dan berdasarkan Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1985. Isi surat tersebut pada pokoknya menetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama diantaranya: Hasyiyah Al-Bajuri, Fathul Mu'in, Al-Syarqowi 'ala al-Tahrir, Hahsyiyah Qalyubi, Fathul-Wahhab, Tuhfah al-Muhtaj, Targhibul-Musytaq, dan Al-Qawanin al-Syar'iyah dan lain-lain. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda. Hakim Peradilan Agama saat itu dan sampai sekitar tahun 1989 benar-benar berkualifikasi menguasasi kitab-kitab rujukan tersebut. Kitab-kitab tersebut masih dikaji di pesantren hingga sekarang.
Puncaknya, kehadiran Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang lahir dari kebutuhan untuk menyelaraskan dan menyeragamkan hukum Islam yang bersumber dari berbagai kitab fiqih klasik dan berbagai putusan pengadilan agama. Maka ada keterkaitan yang erat antara tradisi keilmuan pesantren dan tradisi keilmuan hakim peradilan agama. Singkatnya insan peradilan agama adalah santri yang telah berpindah tempat pengabdian. Hal ini selaras dengan motto pesantren yaitu santri itu mengaji dan mengabdi. Begitu pun Insan peradilan agama ditakdirkan untuk selalu mengaji/mengkaji hukum (ius curia novit) dan mengabdi kepada negeri karena ditempatkan di seluruh pelosok negeri.
Selamat hari santri 2025. Wallahu a’lam bisshowab
Lasusua, 22 Oktober 2025
Naib Pengadilan Agama Lasusua
[1] https://kabcianjur.baznas.go.id/artikel/show/sejarah-hari-santri-nasional-22-oktober-dan-tujuan-memperingatinya/28841 diakses pada tanggal 21 Oktober 2025
[2] Ismanto, Suparman, sejarah peradilan islam di nusantara Masa kesultanan-kesultanan islam pra-kolonial,
[3] https://badilag.mahkamahagung.go.id/suara-pembaca-badilag/suara-pembaca/hari-santri-dan-pengadilan-agama-oleh-drs-h-asmu-i-syarkowi-m-h-14-10, diakses 21 Oktober 2025
